Selasa, 03 Januari 2012

Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hipertropi ( BPH )

ASUHAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI (BPH)



A. PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000, hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).
Prostatektomi adalah pembedahan mengangkat prostata (Ramali, Pamoentjak, 2000, hal 284).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post operasi Benigna Prostat Hipertrofi adalah suatu keadan di mana individu sudah menjalani tindakan pembedahan pengangkatan kelenjar psostat.
B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).

C. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).

D. PATHWAYS KEPERAWATAN































Sumber:  (Mansjoer A, 2000. hal: 329)
(Poernomo, 2000. hal: 74 -76)
E. MANIFESTASI KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
4. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter.
3. Pemeriksaan Uroflowmetri dan Colok Dubur
a. Uroflowmetri
Untuk mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor, tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b. Colok Dubur
Pada perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer, 2000, hal 332).

G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1. Observasi (Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c. Fitoterapi
Pengobatan fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3. Terapi bedah
a. TURP
b. TUIP
c. Prostatektomi terbuka
4. Terapi invasif minimal
a. TUMT (Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b. Dilatasi balon trans uretra (TUBD)
c. High Intensity Focus Ultrasound
d. Ablasi jarum trans uretra
e. Stent Prostat
H. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional sesuai dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
a. Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan, hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
b. Pola Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi, kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
c. Pola Eliminasi
Yang menggambarkan:
1) pola defekasi (warna, kuantitas, dll)
2) penggunaan alat-alat bantu
3) penggunaan obat-obatan.
d. Pola Aktivitas
1) pola aktivitas, latihan dan rekreasi
2) pembatasan gerak
3) alat bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e. Pola Istirahat – Tidur
Yang menggambarkan:
1) Pola tidur dan istirahat
2) Persepsi, kualitas, kuantitas
3) Penggunaan obat-obatan.
f. Pola Kognitif – Perseptual
1) Penghilatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2) Kemampuan bahasa
3) Kemampuan membuat keputusan
4) Ingatan
5) Ketidaknyamanan dan kenyamanan
g. Pola persepsi dan konsep diri
Yang menggambarkan:
1) Body image
2) Identitas diri
3) Harga diri
4) Peran diri
5) Ideal diri.
h. Pola peran – hubungan sosial
Yang menggambarkan:
1) Pola hubungan keluarga dan masyarakat
2) Masalah keluarga dan masyarakat
3) Peran tanggung jawab.
i. Pola koping toleransi stress
Yang menggambarkan:
1) Penyebab stress
2) Kemampuan mengendalikan stress
3) Pengetahuan tentang toleransi stress
4) Tingkat toleransi stress
5) Strategi menghadapi stress.
j. Pola seksual dan reproduksi
Yang menggambarkan:
1) Masalah seksual
2) Pendidikan seksual.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Yang menggambarkan:
1) Perkembangan moral, perilaku dan keyakinan
2) Realisasi dalam kesehariannya.
2. Fokus Intervensi
a. Perubahan eliminasi urine; retensi berhubungan dengan obstruksi mekanikal; bekuan darah, trauma, prosedur bedah tekanan dan iritasi kateter (Doengoes, 2000, hal 679)
Kriteria hasil: Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Rencana intervensi:
1) Kaji haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih
Rasional : Retensi bisa terjadi karena oedema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : Mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas
Rasional : Kateter biasanya dilepas 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena oedema urethral dan kehilangan tonus.
4) Dorong masukan cairan 3.000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari, setelah kateter dilepas
Rasional : Mengurangi resiko bekuan akibat adanya perdarahan sekunder, pemasangan kateter, mengevakuasi residu urine akibat sumbatan bekuan darah.
5) Kolaborasi: pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai indikasi pada periode paska operasi dini
Rasional : Mencuci kandung kemih dari bekuan darah untuk mempertahankan patensi dan aliran kateter.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah; kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680)
Kriteria hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Rencana intervensi:
1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan
Rasional : Gerakan atau penarikan kateter dapat mengakibatkan perdarahan atau pembentukan bekuan dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
2) Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi kandung kemih, awasi pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.
3) Observasi drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan atau berlanjut
Rasional : Perdarahan tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4) Evaluasi warna dan konsistensi urine
Rasional : Biasanya mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Inspeksi balutan atau luka drain
Rasional : Perdarahan dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
6) Awasi tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaporesis, membran mukosa kering dan pucat
Rasional : Dehidrasi dan hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk mencegah terjadinya syok.
7) Dorong pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Membilas ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengakibatkan intoksikasi cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
8) Kolaborasi: pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan dalam 4 – 5 jam, catat periode pemasangan dan pengendoran traksi
Rasional : Traksi berisi balon 30 cc, diposisikan pada fosa urethral prostat akan membuat tekanan pada aliran darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau mengontrol perdarahan.


9) Berikan pelunak feses, laxatif sesuai indikasi
Rasional : Pencegahan konstipasi dan mengejan dan defekasi menurunkan resiko perdarahan rectal perineal.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682)
Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak mengalami infeksi.
Rencana tindakan:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler
Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah
Rasional : Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk syok bedah sehubungan dengan manipulasi atau instrumentasi.
3) Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan perineal)
Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
4) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5) Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan resiko pada prostatektomi
d. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung kemih (traksi) (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai dengan menunjukkan relaksasi, pasien tampak rileks atau istirahat dengan tepat.
Rencana intervensi:
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10)
Rasional : Nyeri tajam dan intermiten menunjukkan adanya spasme kandung kemih.
2) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase dan pertahankan selang bebas dari bekuan dan lekukan
Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem menurunkan resiko distensi dan spasme kandung kemih.
3) Berikan tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong penggunaan teknik relaksasi
Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokuskan lagi perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
4) Kolaborasi pemberian analgetik/antispasmodik
Rasional : Mengurangi, dan merilekskan otot yang mengalami spasme.
e. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan luka dan penurunan masukan sekunder terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diit (Capernito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang mencukupi serat, protein, vitamin dan mineral.
Rencana intervensi:
1) Jelaskan pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal
Rasional : Dengan dukungan kebutuhan nutrisi yang adekuat membantu proses penyembuhan luka.
2) Pantau status hipermetabolisme
Rasional : Adanya riwayat penyakit diabetes akan menjadi penyulit untuk proses penyembuhan luka.
3) Evaluasi kemungkinan penyebab mual
Rasional : Adanya mual akan menghambat masukan nutrisi yang adekuat.
4) Pertahankan kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut yang mendukung
Rasional : Kebersihan gigi dan mulut membantu memelihara dan dapat meningkatkan nafsu makan yang baik.
5) Berikan alternatif makanan sesuai kondisi pasien
Rasional : Variasi jenis makanan dan sajian menghindari kejenuhan yang mengakibatkan ketidakcukupan masukan peroral.
6) Anjurkan untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1 – 2 jam setelah makan
Rasional : Gravitasi membantu penurunan isi usus sehingga menghindarkan perasaan penuh dan mual.
7) Berikan anti emetik sebelum makan bila diindikasikan
Rasional : Pemberian anti emetik mencegah terjadinya mual akibat efek anastesi dan penyebab lainnya.
f. Resiko tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan penurunan peristaltik sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan obat nyeri (Carpenito, 2000, hal 485)
Kriteria hasil:
Eliminasi efektif pasca operasi
Rencana intervensi:
1) Kaji bising usus
Rasional : Peristaltik yang tidak normal meningkatkan resiko konstipasi.
2) Anjurkan mobilisasi sesuai kondisi
Rasional : Mobilisasi meningkatkan kembalinya fungsi normal usus.
3) Tingkatkan faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit seimbang, masukan cairan adekuat, posisi yang tepat.
Rasional : Diit yang seimbang mencegah terjadinya kekurangan pengisian usus akibat kurang residu.
4) Kolaborasi dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi eliminasi dengan pemberian laxatif
Rasional : Bila lebih dari 3 hari tidak defekasi, dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
g. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis, inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana intervensi:
1) Berikan keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual
Rasional : Dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2) Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : Impotensi fisiologis dapat terjadi selama prosedur radikal.
3) Diskusikan dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan pasien
Rasional : Syaraf fleksus mengontrol aliran darah ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen dan hipertropi dapat berulang.
4) Kolaborasi: rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah menetap atau tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
h. Kurang perawatan diri; mandi/hygiene berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap imobilisasi (Carpenito, 2000, hal 324)
Kriteria hasil: mendemonstrasikan kebersihan diri yang optimal
Rencana intervensi:
1) Kaji faktor penyebab dan penyulit
Rasional : Mencari penyebab kurang perawatan diri menentukan jenis bantuan yang diberikan pada pasien
2) Tingkatkan partisipasi optimal
Rasional : Keterlibatan pasien dalam merawat dirinya sendiri meningkatkan rasa percaya diri dan semangat hidup dan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3) Bantu dalam perawatan diri sesuai indikasi
Rasional : Bantuan yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4) Berikan reinforcement positif atas kemampuan yang dicapai selama aktivitas
Rasional : Memberikan rasa percaya diri dan memberikan harga diri
5) Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Rasional : Partisipasi yang maksimal dapat dievaluasi sehingga bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
i. Kurang pengetahuan; kebutuhan belajar tentang kondisi/situasi prognosis, kebutuhan pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000, hal 684)
Kriteria hasil:
1) Menyatakan pemahaman prosedur bedah
2) Berpartisipasi dalam program pengobatan
Rencana intervensi:
1) Kaji implikasi prosedur dan harapan masa depan
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2) Tekankan perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah-buahan, meningkatkan diit tinggi serat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan mencegah komplikasi serta menurunkan resiko perdarahan pasca operasi
3) Diskusikan pembatasan aktivitas
Rasional : Peningkatan tekanan abdominal yang menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat menimbulkan resiko perdarahan
4) Berikan gambaran atau penjelasan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
Rasional : Lakukan penyuluhan kesehatan sesuai SAP yang berdasarkan pada kebutuhan informasi dari pasien.
5) Instruksikan perawatan lanjut atau kontrol
Rasional : Tindak lanjut untuk perawatan luka, pengangkatan jahitan dilakukan tenaga terlatih, dan kebutuhan pengobatan dapat disesuaikan dengan kondisi lukanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket